Hutan gambut adalah lahan yang memiliki laoisan tanah kaya bahan
organik ( C-Organik 18-60% ) dengan ketebalan 50 cm/ lebih . Bahan
organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa – sisa tanaman yang belum
melapuk / terurai secara sempurna ( setengah busuk )
Kandungan bahan organiknya tinggi , salah
satunya adalah karbon . Tanah gambut banyak dijumpai di daerah rawa atau daerah
ewa yang drainasenya buruk .
Lahan gambut merupakan penyangga
ekosistem terpenting karna daya simpan air dan fungsinya sebagai penyerap dan
penyimpan karbon baik di atas maupun di permukaan tanah , sehingga berkontribusi
dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer . Gambut kering dengan berat 50 –
200 kg/m3 dapat menyerap air sebanyak 800 – 950 L/m3 air , tergantung dari
tingkat perombakannya dan keberadaan fraksi tanah mineral .
Gambut menyimpan karbon dalam bentuk
senyawa organic , kandungan karbon 30 –
115 kg/m3 ( 300 – 1.150 ton/ha ) dan simpanan karbon dari tanaman hutan alami
gambut dapat mencapai >200 ton/hektar .
Pada areal gambut dangkal ( 0,5 – 1 m )
cocok untuk tanaman perkebunan dan kehutanan dengan system agroforestry ( kebun
campuran ) . Semantara pada areal gambut sedang ( 1-2 m ) dan dalam ( >2 m )
cocok untuk masuk ke dalam skema REDD+ ( konservasi gambut ) , dimana pengelola
mandapat keuntungan dari menjaga areal gambut dari kerusakan , pengeringan dan
kebakaran yang akan menyebabkan pelepasan emisi karbon yang tersimpan pada
gambut .
Apabila hutan gambut berubah ekosistemnya
karena ditebang , di bakar , dan didrainase , maka karbon tersimpan pada gambut
mudah teroksidasi menjadi gas CO ( salah satu gas rumah kaca terpenting ,
selain CH4 dan N2O ). Jika lahan gambut dibuka , apalagi dibakar , maka emisi
gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer sangatlah besar ( 3-10 kali emisi
gas rumah kaca yang dilepaskan oleh ekosistem lainnya di daratan ).
Pembukaan lahan gambut akan merubah
ekosistemnya , menghilangkan kemampuan menyimpan air , dan melepaskan karbon ke
udara .
Emisi akibat dekomposisi gambut pada perkebunan
sawit lebih tinggi dibanding karet ,
karena kedalaman drainase untuk sawit jauh dan lebih dalam ( diasumsikan 60 cm ) dibanding untuk
perkebunan karet ( diasumsikan 20 cm ) .
Menurut laporan Bank Dunia , Indonesia
telah melepaskan 300 ton emisi karbon untuk setiap satu hektar lahan hutan yang
di buka sebagai perkebunan .
UNFCCC / United Nations Farmework
Covention on Climate Change ( Forum Perserikatan Bangsan – bangsa untuk
Penanggulangan Perubahan Iklim ) sudah merumuskan REDD ( Reducing Emissions
from Deforestation and Degradation = Pengurangan
Emisi dari Dedeforestasi dan Degradasi Hutan ) , yaitu mekanisme imbalan /
insentif yang bersifat positif bagi Negara berkembang yang berhasil mengurangi
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan .
Deforestasi adalah perubahan secara
permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh
kegiatan manusia . Sedangkan Degradasi hutan adalah penurunan kuantitas tutupan
hutan dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan
manusia .
From : Taufik Akbar
No comments:
Post a Comment